Komponen sistem politik Indonesia
Budaya politik dan struktur politik
1. Budaya politik
Budaya
politik hampir dapat dijumpai disetiap masyarakat. Budaya politik pada dasarnya
merupakan representasi dari sikap masyarakat terhadap politik itu sendiri. Menurut
Gabriel Almond (1966)budaya politik adalah pola sikap dan orientasi
individu terhadap politik diantara anggota sistem politik. Orientasi individu
itu memiliki sejumlah komponen yakni :
·
Orientasi Kognitif : pengetahuan, keyakinan
·
Orientasi Afektif : perasaan terkait, keterlibatan,
penolakan dan sejenisnya tentang ibyek politik
·
Orientasi Evaluasi : penilaian dan opini tentang obyek
politik yang biasanya melibatkan nilai-nilai standar terhadap obyek politik dan
kejadian-kejadian.
Obyek
orientasi politik pada umumnya mencakup:
1.
Sistem politik secara keseluruhan, meliputi intensitas
pengetahuan dan pengungkapan perasaan yang ditandai dengan apresiasi historis
sebuah sistem politik.
2.
Proses input, orientasi kognitif dan afektif (pengetahuan
dan keterlibatan) terhadap proses penyaluran tuntutan kepentingan masyarakat.
Termasuk didalamnya pengamatan terhadap partai politik, kelompok kepentingan
dan segala hal yang brpengaruh terhadap kehidupan politik.
3.
Proses output, berkaitan dengan fungsi pembuatan aturan,
kebijakan atau perundangan oleh lembaga negara.
Walter A
Rosenbaum menyebutkan, budaya politik dapat didefinisikan dalam dua cara.
Pertama, jika terkonsentrasi pada individu, budaya politik merupakan fokus
psikologis. Artinya bagaimana cara-cara seseorang melihat sistem politik. Apa
yang dia rasakan dan ia pikir tentang simbol, lembaga dan aturan yang ada dalam
tatanan politik dan bagaimana pula ia meresponnya.Kedua, budaya politik merujuk
pada orientasi kolektif rakyat terhadap elemen-elemen dasar dalam sistem
politiknya. Inilah yang
disebut “pendekatan sistem”.
Albert Widjaja menyatakan budaya
politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri ide,
pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal dan
diakui sebagain besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberi rasional
untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Ia malah
menyamakan budaya politik dengan konsep “ideologi” yang dapat berarti “sikap
mental”, “pandangan hidup”, dan “struktur pemikiran”. Budaya politik, katanya,
menekankan ideologi yang umum berlaku di masyarakat, bukan ideologi perorangan
yang sifatnya sering khusus dan beragam.
Penjelasan
diatas menunjukkan bahwa terdapat interdependensi antara orientasi dan perilaku
politik masyarakat dengan karakteristik masyarakat tersebut. Dengan demikian,
budaya politik juga dipengaruhi oleh sikap mental dan pandangan hidup
masyarakat. Pandangan Albert Widjaja inilah yang mendasari klasifikasi budaya
politik berdasarkan tipe-tipenya.
Obyek
yang jadi orientasi politik adalah sistem politik secara keseluruhan, peran
politik atau struktur tertentu,individu atau kelompok yang memikul peran
tertentu, kebijakan publik yang khusus. Termasuk didalamnya adalah aktor
politik dan ego dari aktor politik.
2. Tipe budaya politik.
Almond
sendiri seperti dikutip dalam Mochtar Mas’oed (1984) membagi tiga jenis budaya
politik.1. Budaya
politik parokial .2. Budaya
politik kaula 3. budaya politik
partisipan.
a.
Budaya politik parokial (biasanya terbatas dalam wilayah
tertentu) dimana kesadaran objek politik dalam masyarakat sangat kecil.
Kondisi demikian biasanya terdapat dalam masyarakat yang sederhana, spesialisasi
sangat sederhana, para pelaku politik menjalankan perannya seringkali bersamaan
dengan peranannya dalam bidang yang lain (ekonomi, keagamaan dan lain-lain).
Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap objek-objek politik menyebabkan
rendahnya tingkat partisipasi politik dalam masyarakat tersebut. Namun
demikian, hal nyata yang dapat dilihat dalam tipe budaya politik parokial
adalah kesadaran masyarakat akan adanya pusat kewenangan politik dalam
masyarakat.
b. Budaya
politik Kaula, adalah mereka yang berorientasi terhadap sistem politik sebagai
keseluruhan dan pengaruhnya terhadap outputs yang mempengaruhi kehidupan
mereka. Namun mereka tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur
inputs. Dalam budaya ini masyarakat menyerah pada sistem tidak mampu mempengaruhi
kebijakan dan keputusan para pemegang kekuasaan dalam masyarakat.
c. Budaya
politik partisipan, dimana individu yang berorientasi terhadap struktur inputs
dan proses serta terlibat terlibat
didalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan
tuntutan dan membuat keputusan. Dalam budaya politik ini masyarakat
menyadari hak dan tanggung jawab politiknya dalam masyarakat. Tingkat
partisipasi politik cenderung tinggi serta berorientasi pada objek output dan
input.
Walaupun
demikian sangat jarang dijumpai sebuah masyarakat yang mempunyai salah satu
budaya politik murni tanpa diwarnai budaya politik lainnya. Almond menyimpulkan
dengan dasar tiga tipe budaya politik diatas, terdapat tipe budaya politik
campuran (mixed political cultures). Yaitu 1. Parochial-subject culture 2.
Subject-participant culture 3. parochial – participant culture dan 4. civic
culture yaitu gabungan karakteristik tipe-tipe budaya politik yang murni
seperti diuraikan diatas.
3. Budaya politik Indonsia.
Budaya
politik Indonesia dapat ditinjau dari lingkup kedaerahan. Sebagaimana
dijelaskan (Albert Widjaja) bahwa budaya politik tidak terlepas dari
karakteristik masyarakat, maka budaya politik Indonesia mempunyai karakteristik
tersendiri berdasarkan lingkup kedaerahan. Diantaranya budaya politik Jawa,
budaya politik Sunda, budaya politik Aceh dan lain-lain (lihat Inu Kencana h.
89-97).
Secara
spesifik budaya politik Indonesia sangat sulit untuk dideskripsikan. Hal ini
disebabkan heterogenitas masyarakat Indonesia. Pluralitas masyarakat Indonesia ini
memunculkan variasi karakteristik masyarakat. Diferensiasi karakter masyarakat
ini memunculkan beberapa tipe budaya politik di Indonesia berdasarkan lingkup
kedaerahan yang berpedoman pada falsafah hidup. Walaupun demikian, budaya
politik ini merupakan kepribadian bangsa Indoensia yang diintegrasikan oleh
semangat pancasila dan UUD 45.
Varian
budaya politik Indonesia ini digambarkan dalam Rusadi Kanta (1983) sebagai
hasil interaksi antara sistem ekologi, sistem sosial, sistem kepribadian[1]
dan lingkungan dalam-masyarakat maupun lingkungan luar-masyarakat. Perubahan
sosial yang berkelanjutan menyebabkan dinamisasi budaya politik. Artinya budaya
politik tidak berhenti pada satu titik akan tetapi terus berkembang seiring dengan
perubahan kultural dan perubahan teknologi dan modernisasi.
Konstatasi
(sementara) budaya politik Indonesia dapat ditelaah dengan pertimbangan
beberapa variabel dan dikondisikan sesuai dengan dinamika masyarakat. Secara
umum variabel tersebut dapat dilihat dalam:
·
Konfigurasi subkultur di Indoensia yang beraneka ragam.
Keanekaragaman ini disatukan oleh falsafah negara Bhineka Tunggal Eka. Integrasi subkultur ini merupakan usaha untuk
mencapai equilibrium masyarakat.
·
Budaya politik Indonesia bersifat Parokial kaula dan
sebagian bersifat partisipan. Di satu pihak masayarakat masih ketinggalan dalam
memanfaatkan hak politiknya, sedangkan dipihak lain para elit sungguh-sungguh berperan aktif sebagai
partisipan. Denga demikian budaya politik Indonesia merupakan Mixed political culture yang diwarnai
oleh besarnya pengaruh budaya politik Parokial lokal.
·
Kecenderungan budaya politik Indonesia yang
mempertahankan konsep paternalistik dan
patrimonial.
·
Dilema interaksi modernisasi dengan nilai-nilai lama yang
telah tertanam dalam jiwa masyarakat. Secara sosiologis kondisi demikian
disebut Anomie hilangnya nilai lama
namun belum ditemukan nilai baru yang representatif.
4. Struktur Politik
Struktur
politik merupakan hal esensial dalam sistem politik. Struktur politik ini dapat
diartikan sebagai organisasi lembaga formal dan non formal yang bersifat
politis sehingga membentuk satu kesatuan sistem politik. Defini lain
menunjukkan bahwa Struktur politik merupakan suatu “keseluruhan dari
pengelompokan yang timbul dari masyarakat, baik berupa lembaga kenegaraan
maupun kemasyarakatan yang berpengaruh dalam pembuatan kebijakan yang
otoritatif dan mengikat masyarakat.
Pada
hakekatnya struktur politik ini merupakan bangunan lembaga formal dan non
formal yang dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan, mendistribusikan kekuasaan
dalam kapasitas kewenangan (authority), hak dan kekuatan fisik. Distribusi
kekuasaan dimanifestasikan dalam kebijakan pemerintah. Dalam prakteknya
struktur politik terbagi menjadi dua yaitu; Supra
struktur yang nantinya kurang lebih disebut mesin politik formal dan Infra struktur yang mempunyai definisi
lain sebagai mesin politik non formal.
Berbicara
masalah struktur politik maka pokok permasalahan dalam bahasan ini adalah
masalah mesin politik yang digunakan sebagai wahana untuk mencapai tujuan.
Berdasarkan jenisnya, mesin politik terbagi menjadi:
a. Mesin
politik Informal, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada pengelompokan
masyarakat atas beberapa dasar guna menjalankan fungsi politik. Pengelompokan /
organisasi massa ini didasarkan pada pendekatan:
·
Pengelompokan
masyarakat atas persamaan sosial ekonomi. Hal ini
menunjukkan pada sikap mental (mental attitude) kelompok tertentu dalam
masyarakat. Pada akhirnya kelompok ini menjadi kekuatan formal dalam sektor kehidupan
politik masyarakat. Pengelompokan
ini terdiri atas beberapa golongan, misalnya golongan tani, buruh, menengah dan
intelegensia. (lihat teori kelompok)[2]
·
Pengelompokan
masyarakat atas dasar persamaan jenis tujuan. Misalnya
golongan agamawan, golongan militer, usahawan
·
Pengelompokan
berdasarkan pada kenyataan politik. Realita dalam masyarakat
menunjukkan bahwa terdapat beberapa organisasi politis yang mengemban fungsi dan peranan politik
tertentu. Misalnya partai politik, kelompok kepentingan, golongan penekan,
tokoh politik dan komunikasi politik.
b. Mesin
politik formal/resmi, lembaga resmi yang menjalankan peran politik dalam
lembaga resmi negara/pemerintahan. Mesin politik resmi ini dapat diuraikan:
·
Triaspolitika-nya Montesquieu yang membagi kekuasaan
pemerintah menjadi tiga bagian, legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif
(pelaksana undang-undang) dan yudikatif (pelaksana peradilan) dimana secara
konseptual; tujuannya adalah membagi kekuasaan (separation of power) untuk
mencegah keabsolutan penguasa walaupun pada akhirnya menjadi distribusi
kekuasaan.
·
Teori dikotomi menyebutkan bahwa kekuasaan terbagi
menjadi dua yaitu, kekuasaan menetapkan kebijakan dan kekuasaan melaksanakan
kebijakan.
Menurut Almond, suprastruktur
mempunyai fungsi politik membuat
peraturan, melaksanakan peraturan dan melaksanakan keadilan.
5. Fungsi politik.
Berbicara
maslah struktur politik tidak dapat dilepaskan dari fungsi politik
secarakeseluruhan. Struktur politik merupakan pelembagaan dalam masyarakat untuk
menjalankan fungsi politik dalam rangka mencapai tujuan. Keterkaitan fungsi
politik dengan struktur politik dapat dilihat dalam konsep fungsi politik itu
sendiri, yaitu pemenuhan tugas dan tujuan struktur politik. Fungsi politik merupakan keharusan
dalam sebuah sistem politik Almond menyatakan
All of the funcions
performed in the political system–political sosialization and recrutment,
intereset articulation, interest aggregations, rule making, rule application,
and rule adjudication- are performed by means of communication.
Menurutnya
fungsi politik merupakan kesatuan dalam system politik yang berwujud,
sosialisasi dan rekruitmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi
kepentingan, pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang, pelaksana
keadilan. dan komunikasi politik Rusadi Kanta menambahkan seleksi kepemimpinan.
a.
Sosialisasi dan rekruitmen politik, Kanta menyebutnya
sebagai pendidikan politik. Fungsi ini
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang politik yang
berujung pada meningkatnya partisipasi politik masyarakat. Sarananya?
b.
Artikulasi kepentingan, mempertemukan kepentingan yang
beraneka ragam dan benar-benar eksis dalam masyarakat. Kemajemukan masyarakat
menjadikan beragamnya kepentingan yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu diperlukan
pola hidup baru yaitu akomodasi dan penyesuaian (adaptasi).
c.
Agregasi kepentingan, menyalurkan kepentingan masyarakat
kepada pemegang kekuasaan untuk dijadikan perhatian atau keputusan politik.
d.
Pembuat undang-undang
e.
Pelaksana undang-undang
f.
Pelaksana keadilan
g.
Seleksi kepemimpinan, menyelenggarakan pemilihan colon
pemimpin dan pemimpin bagi masyarakat.
h.
Komunikasi politik, guna menghubungan pikiran politik
yang hidup dalam masyarakat dengan sektor pemerintahan. menurut Maswadi Ra’uf (1993 ) komunikasi politik sebagai kegiatan
politik merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh
aktor-aktor politik kepada pihak lain. Namun sesungguhnya komunikasi politik
sesuatu yang berdirin sendiri, komunikasi politik akan terjadi apabila fungsi
politik secara keseluruhan terlaksana dalam struktur politik.
Dari fungsi politik
diatas dibedakan menjadi fungsi input dan fungsi output. Fungsi input meliputi;
sosialisasi dan rekruitmen politik
(pendidikan politik), artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan dan
komunikasi politik. Sedangkan fungsi output meliputi; Pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang dan pelaksana keadilan.
[1] Menurut
Theodore M. Newcomb, kepribadian merupakan organisasi sikap yang dimiliki oleh
seseorang yang melatar belakangi perilakunya.
[2] Sebuah
kelompok social mempunyai cirri, adanya kesadaran anggota kelompok bahwa ia
adalah anggota kelompok, hubungan tmbal balik, factor yang dimiliki bersama,
berstruktur dan berproses.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar