Selasa, 02 Juli 2013

Komponen sistem politik Indonesia Budaya politik dan struktur politik

Komponen sistem politik Indonesia
Budaya politik dan struktur politik
1. Budaya politik
Budaya politik hampir dapat dijumpai disetiap masyarakat. Budaya politik pada dasarnya merupakan representasi dari sikap masyarakat terhadap politik itu sendiri. Menurut Gabriel Almond  (1966)budaya politik adalah pola sikap dan orientasi individu terhadap politik diantara anggota sistem politik. Orientasi individu itu memiliki sejumlah komponen yakni :
·         Orientasi Kognitif  : pengetahuan, keyakinan
·         Orientasi Afektif  : perasaan terkait, keterlibatan, penolakan dan sejenisnya tentang ibyek politik
·         Orientasi Evaluasi : penilaian dan opini tentang obyek politik yang biasanya melibatkan nilai-nilai standar terhadap obyek politik dan kejadian-kejadian.
Obyek orientasi politik pada umumnya mencakup:
1.    Sistem politik secara keseluruhan, meliputi intensitas pengetahuan dan pengungkapan perasaan yang ditandai dengan apresiasi historis sebuah sistem politik.
2.    Proses input, orientasi kognitif dan afektif (pengetahuan dan keterlibatan) terhadap proses penyaluran tuntutan kepentingan masyarakat. Termasuk didalamnya pengamatan terhadap partai politik, kelompok kepentingan dan segala hal yang brpengaruh terhadap kehidupan politik.
3.    Proses output, berkaitan dengan fungsi pembuatan aturan, kebijakan atau perundangan oleh lembaga negara.
Walter A Rosenbaum menyebutkan, budaya politik dapat didefinisikan dalam dua cara. Pertama, jika terkonsentrasi pada individu, budaya politik merupakan fokus psikologis. Artinya bagaimana cara-cara seseorang melihat sistem politik. Apa yang dia rasakan dan ia pikir tentang simbol, lembaga dan aturan yang ada dalam tatanan politik dan bagaimana pula ia meresponnya.Kedua, budaya politik merujuk pada orientasi kolektif rakyat terhadap elemen-elemen dasar dalam sistem politiknya. Inilah yang disebut “pendekatan sistem”. 
Albert Widjaja menyatakan budaya politik adalah aspek politik dari sistem nilai-nilai yang terdiri ide, pengetahuan, adat istiadat, tahayul dan mitos. Kesemuanya ini dikenal dan diakui sebagain besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberi rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain. Ia malah menyamakan budaya politik dengan konsep “ideologi” yang dapat berarti “sikap mental”, “pandangan hidup”, dan “struktur pemikiran”. Budaya politik, katanya, menekankan ideologi yang umum berlaku di masyarakat, bukan ideologi perorangan yang sifatnya sering khusus dan beragam. 
Penjelasan diatas menunjukkan bahwa terdapat interdependensi antara orientasi dan perilaku politik masyarakat dengan karakteristik masyarakat tersebut. Dengan demikian, budaya politik juga dipengaruhi oleh sikap mental dan pandangan hidup masyarakat. Pandangan Albert Widjaja inilah yang mendasari klasifikasi budaya politik berdasarkan tipe-tipenya.
Obyek yang jadi orientasi politik adalah sistem politik secara keseluruhan, peran politik atau struktur tertentu,individu atau kelompok yang memikul peran tertentu, kebijakan publik yang khusus. Termasuk didalamnya adalah aktor politik dan ego dari aktor politik.
2. Tipe budaya politik.
Almond sendiri seperti dikutip dalam Mochtar Mas’oed (1984) membagi tiga jenis budaya politik.1.      Budaya politik parokial .2.      Budaya politik kaula 3. budaya politik partisipan.

a.    Budaya politik parokial (biasanya terbatas dalam wilayah tertentu) dimana kesadaran objek politik dalam masyarakat sangat kecil. Kondisi demikian biasanya terdapat dalam masyarakat yang sederhana, spesialisasi sangat sederhana, para pelaku politik menjalankan perannya seringkali bersamaan dengan peranannya dalam bidang yang lain (ekonomi, keagamaan dan lain-lain). Rendahnya kesadaran masyarakat terhadap objek-objek politik menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi politik dalam masyarakat tersebut. Namun demikian, hal nyata yang dapat dilihat dalam tipe budaya politik parokial adalah kesadaran masyarakat akan adanya pusat kewenangan politik dalam masyarakat.
b.      Budaya politik Kaula, adalah mereka yang berorientasi terhadap sistem politik sebagai keseluruhan dan pengaruhnya terhadap outputs yang mempengaruhi kehidupan mereka. Namun mereka tidak berorientasi terhadap partisipasi dalam struktur inputs. Dalam budaya ini masyarakat menyerah pada sistem tidak mampu mempengaruhi kebijakan dan keputusan para pemegang kekuasaan dalam masyarakat.
c.       Budaya politik partisipan, dimana individu yang berorientasi terhadap struktur inputs dan proses serta terlibat  terlibat didalamnya atau melihat dirinya sebagai potensial terlibat, mengartikulasikan tuntutan dan membuat keputusan. Dalam budaya politik ini masyarakat menyadari hak dan tanggung jawab politiknya dalam masyarakat. Tingkat partisipasi politik cenderung tinggi serta berorientasi pada objek output dan input.
Walaupun demikian sangat jarang dijumpai sebuah masyarakat yang mempunyai salah satu budaya politik murni tanpa diwarnai budaya politik lainnya. Almond menyimpulkan dengan dasar tiga tipe budaya politik diatas, terdapat tipe budaya politik campuran (mixed political cultures). Yaitu 1. Parochial-subject culture 2. Subject-participant culture 3. parochial – participant culture dan 4. civic culture yaitu gabungan karakteristik tipe-tipe budaya politik yang murni seperti diuraikan diatas.
3. Budaya politik Indonsia.
Budaya politik Indonesia dapat ditinjau dari lingkup kedaerahan. Sebagaimana dijelaskan (Albert Widjaja) bahwa budaya politik tidak terlepas dari karakteristik masyarakat, maka budaya politik Indonesia mempunyai karakteristik tersendiri berdasarkan lingkup kedaerahan. Diantaranya budaya politik Jawa, budaya politik Sunda, budaya politik Aceh dan lain-lain (lihat Inu Kencana h. 89-97).
Secara spesifik budaya politik Indonesia sangat sulit untuk dideskripsikan. Hal ini disebabkan heterogenitas masyarakat Indonesia. Pluralitas masyarakat Indonesia ini memunculkan variasi karakteristik masyarakat. Diferensiasi karakter masyarakat ini memunculkan beberapa tipe budaya politik di Indonesia berdasarkan lingkup kedaerahan yang berpedoman pada falsafah hidup. Walaupun demikian, budaya politik ini merupakan kepribadian bangsa Indoensia yang diintegrasikan oleh semangat pancasila dan UUD 45.
Varian budaya politik Indonesia ini digambarkan dalam Rusadi Kanta (1983) sebagai hasil interaksi antara sistem ekologi, sistem sosial, sistem kepribadian[1] dan lingkungan dalam-masyarakat maupun lingkungan luar-masyarakat. Perubahan sosial yang berkelanjutan menyebabkan dinamisasi budaya politik. Artinya budaya politik tidak berhenti pada satu titik akan tetapi terus berkembang seiring dengan perubahan kultural dan perubahan teknologi dan modernisasi.
Konstatasi (sementara) budaya politik Indonesia dapat ditelaah dengan pertimbangan beberapa variabel dan dikondisikan sesuai dengan dinamika masyarakat. Secara umum variabel tersebut dapat dilihat dalam:
·         Konfigurasi subkultur di Indoensia yang beraneka ragam. Keanekaragaman ini disatukan oleh falsafah negara Bhineka Tunggal Eka. Integrasi subkultur ini merupakan usaha untuk mencapai equilibrium masyarakat.
·         Budaya politik Indonesia bersifat Parokial kaula dan sebagian bersifat partisipan. Di satu pihak masayarakat masih ketinggalan dalam memanfaatkan hak politiknya, sedangkan dipihak lain para elit  sungguh-sungguh berperan aktif sebagai partisipan. Denga demikian budaya politik Indonesia merupakan Mixed political culture yang diwarnai oleh besarnya pengaruh budaya politik Parokial lokal.
·         Kecenderungan budaya politik Indonesia yang mempertahankan konsep paternalistik  dan patrimonial.
·         Dilema interaksi modernisasi dengan nilai-nilai lama yang telah tertanam dalam jiwa masyarakat. Secara sosiologis kondisi demikian disebut Anomie hilangnya nilai lama namun belum ditemukan nilai baru yang representatif.
4. Struktur Politik
Struktur politik merupakan hal esensial dalam sistem politik. Struktur politik ini dapat diartikan sebagai organisasi lembaga formal dan non formal yang bersifat politis sehingga membentuk satu kesatuan sistem politik. Defini lain menunjukkan bahwa Struktur politik merupakan suatu “keseluruhan dari pengelompokan yang timbul dari masyarakat, baik berupa lembaga kenegaraan maupun kemasyarakatan yang berpengaruh dalam pembuatan kebijakan yang otoritatif dan mengikat masyarakat.
Pada hakekatnya struktur politik ini merupakan bangunan lembaga formal dan non formal yang dijadikan sebagai alat untuk mendapatkan, mendistribusikan kekuasaan dalam kapasitas kewenangan (authority), hak dan kekuatan fisik. Distribusi kekuasaan dimanifestasikan dalam kebijakan pemerintah. Dalam prakteknya struktur politik terbagi menjadi dua yaitu; Supra struktur yang nantinya kurang lebih disebut mesin politik formal dan Infra struktur yang mempunyai definisi lain sebagai mesin politik non formal.
Berbicara masalah struktur politik maka pokok permasalahan dalam bahasan ini adalah masalah mesin politik yang digunakan sebagai wahana untuk mencapai tujuan. Berdasarkan jenisnya, mesin politik terbagi menjadi:
a. Mesin politik Informal, istilah ini digunakan untuk menunjuk pada pengelompokan masyarakat atas beberapa dasar guna menjalankan fungsi politik. Pengelompokan / organisasi massa ini didasarkan pada pendekatan:
·         Pengelompokan masyarakat atas persamaan sosial ekonomi. Hal ini menunjukkan pada sikap mental (mental attitude) kelompok tertentu dalam masyarakat. Pada akhirnya kelompok ini menjadi kekuatan formal dalam sektor kehidupan politik masyarakat.  Pengelompokan ini terdiri atas beberapa golongan, misalnya golongan tani, buruh, menengah dan intelegensia. (lihat teori kelompok)[2]
·         Pengelompokan masyarakat atas dasar persamaan jenis tujuan. Misalnya golongan agamawan, golongan militer, usahawan
·         Pengelompokan berdasarkan pada kenyataan politik. Realita dalam masyarakat menunjukkan bahwa terdapat beberapa organisasi politis yang  mengemban fungsi dan peranan politik tertentu. Misalnya partai politik, kelompok kepentingan, golongan penekan, tokoh politik dan komunikasi politik.
b. Mesin politik formal/resmi, lembaga resmi yang menjalankan peran politik dalam lembaga resmi negara/pemerintahan. Mesin politik resmi ini dapat diuraikan:
·         Triaspolitika-nya Montesquieu yang membagi kekuasaan pemerintah menjadi tiga bagian, legislatif (pembuat undang-undang), eksekutif (pelaksana undang-undang) dan yudikatif (pelaksana peradilan) dimana secara konseptual; tujuannya adalah membagi kekuasaan (separation of power) untuk mencegah keabsolutan penguasa walaupun pada akhirnya menjadi distribusi kekuasaan.
·         Teori dikotomi menyebutkan bahwa kekuasaan terbagi menjadi dua yaitu, kekuasaan menetapkan kebijakan dan kekuasaan melaksanakan kebijakan.
Menurut Almond, suprastruktur mempunyai fungsi politik membuat peraturan, melaksanakan peraturan dan melaksanakan keadilan.
5. Fungsi politik.
Berbicara maslah struktur politik tidak dapat dilepaskan dari fungsi politik secarakeseluruhan. Struktur politik merupakan pelembagaan dalam masyarakat untuk menjalankan fungsi politik dalam rangka mencapai tujuan. Keterkaitan fungsi politik dengan struktur politik dapat dilihat dalam konsep fungsi politik itu sendiri, yaitu pemenuhan tugas dan tujuan struktur politik. Fungsi politik merupakan keharusan dalam sebuah sistem politik Almond menyatakan
All of the funcions performed in the political system–political sosialization and recrutment, intereset articulation, interest aggregations, rule making, rule application, and rule adjudication- are performed by means of communication.
Menurutnya fungsi politik merupakan kesatuan dalam system politik yang berwujud, sosialisasi dan rekruitmen politik, artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan, pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang, pelaksana keadilan. dan komunikasi politik Rusadi Kanta menambahkan seleksi kepemimpinan.
a.    Sosialisasi dan rekruitmen politik, Kanta menyebutnya sebagai pendidikan politik.  Fungsi ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang politik yang berujung pada meningkatnya partisipasi politik masyarakat. Sarananya?
b.    Artikulasi kepentingan, mempertemukan kepentingan yang beraneka ragam dan benar-benar eksis dalam masyarakat. Kemajemukan masyarakat menjadikan beragamnya kepentingan yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu diperlukan pola hidup baru yaitu akomodasi dan penyesuaian (adaptasi).
c.    Agregasi kepentingan, menyalurkan kepentingan masyarakat kepada pemegang kekuasaan untuk dijadikan perhatian atau keputusan politik.
d.    Pembuat undang-undang
e.    Pelaksana undang-undang
f.     Pelaksana keadilan
g.    Seleksi kepemimpinan, menyelenggarakan pemilihan colon pemimpin dan pemimpin bagi masyarakat.
h.    Komunikasi politik, guna menghubungan pikiran politik yang hidup dalam masyarakat dengan sektor pemerintahan. menurut Maswadi Ra’uf (1993 ) komunikasi politik sebagai kegiatan politik merupakan penyampaian pesan-pesan yang bercirikan politik oleh aktor-aktor politik kepada pihak lain. Namun sesungguhnya komunikasi politik sesuatu yang berdirin sendiri, komunikasi politik akan terjadi apabila fungsi politik secara keseluruhan terlaksana dalam struktur politik.
Dari fungsi politik diatas dibedakan menjadi fungsi input dan fungsi output. Fungsi input meliputi; sosialisasi dan rekruitmen politik (pendidikan politik), artikulasi kepentingan, agregasi kepentingan dan komunikasi politik. Sedangkan fungsi output meliputi; Pembuat undang-undang, pelaksana undang-undang dan pelaksana keadilan.

















[1] Menurut Theodore M. Newcomb, kepribadian merupakan organisasi sikap yang dimiliki oleh seseorang yang melatar belakangi perilakunya.
[2] Sebuah kelompok social mempunyai cirri, adanya kesadaran anggota kelompok bahwa ia adalah anggota kelompok, hubungan tmbal balik, factor yang dimiliki bersama, berstruktur dan berproses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar